Nggak Enakan dan Conflict Debt, Bom Waktu di Balik Meja Kerja
Konflik yang dipendam lama-lama akan menumpuk dan menimbulkan masalah di kemudian hari. Sebelum bom waktu ini meledak, hendaknya segera diselesaikan.

tirto.id – Sebagian dari kita pasti pernah berada dalam situasi merasa enggak enak untuk menyampaikan perbedaan pendapat. Bayangkan, kamu punya atasan dan selalu memilih untuk diam karena perbedaan status demi menjaga perasaan yang bersangkutan.
Mula-mula kelihatannya damai, tapi secara perlahan masalah kecil ini akan menumpuk. Nah, itulah yang disebut conflict debt.
Conflict debt adalah kondisi saat konflik atau perbedaan pendapat yang tidak diselesaikan menumpuk seperti utang yang harus dibayar suatu saat nanti. Masalah yang diabaikan karena terlalu merasa enggak enak untuk dibahas bisa berakumulasi dan akhirnya mengganggu keharmonisan serta produktivitas tim atau bahkan di lingkungan kita sehari-hari.
Mengapa Kita Suka Menghindari Konflik?
Sejak kecil, kita diajarkan untuk menghargai perasaan orang lain. Budaya sopan santun dan tidak enakan membuat kita cenderung memilih untuk menghindari konflik. Istilah ini merujuk pada perasaan tidak nyaman, sungkan, atau segan untuk melakukan sesuatu yang berpotensi menyinggung atau mengecewakan orang lain.
“Sulit bagi orang untuk mengatakan ‘tidak’, lebih suka mengungkapkan ketidaksepakatan dengan sangat samar-samar atau melalui penggunaan keheningan,” tutur Keith Warburton dalam artikelnya “Indonesian Business Communication Styles” di lama World Business Culture.
Kita berpikir, “Lebih baik diam daripada menimbulkan suasana ribut atau menyakiti hati teman.” Namun, pendekatan ini punya sisi negatif.
Dalam lingkungan keluarga atau pertemanan, jika setiap ketidaksetujuan diabaikan hanya karena tidak ingin membuat situasi panas, maka perasaan tersinggung pun bisa menumpuk. Akibatnya, hubungan yang tadinya akrab perlahan merenggang.
Di rumah, misalnya, kalau setiap kali terjadi perbedaan pendapat soal pembagian tugas atau kegiatan keluarga, anggota rumah hanya memilih diam. Lama-kelamaan, hal-hal kecil itu bisa memicu suasana hati yang kurang nyaman, bahkan muncul pertengkaran tak terduga saat keadaan memuncak.
Bayangkan saja, setiap kali ada hal yang kurang pas, kita membiarkannya berlalu tanpa ada pembicaraan terbuka. Lama kelamaan, perbedaan kecil yang tidak diselesaikan akan berubah menjadi beban yang semakin berat.
Contoh lain di lingkungan kantor. Ada seorang karyawan yang merasa bahwa kontribusinya sering tidak diapresiasi. Alih-alih mengungkapkan perasaannya, ia memilih untuk diam karena takut dianggap terlalu ngotot atau menimbulkan konflik.
Di sisi lain, rekan-rekannya mungkin merasa segalanya baik-baik saja karena mereka tidak pernah mempermasalahkan hal kecil. Namun, seiring waktu, karyawan yang merasa kurang dihargai mulai merasakan frustrasi yang menumpuk.
Budaya “iya” yang berkembang karena keengganan untuk menolak permintaan dapat menyebabkan karyawan mengalami burnout. Menurut pakar dinamika dan performa tim, Liane Davey, ini terjadi ketika seseorang menghindari masalah, misalnya, tidak berani memberi tahu rekan kerja yang kerjanya kurang bagus hanya karena menghindari konflik
Dampaknya meliputi perlambatan organisasi, stres individu seperti malam tanpa tidur dan ketidakpuasan kerja. Konsekuensi lain, situasi negatif itu bisa berkembang menjadi masalah serius. Atmosfir kerja mulai terganggu dan produktivitas menjadi menurun.
Bila hal seperti itu dibiarkan terus-menerus, perbedaan yang pada awalnya bisa dicarikan solusi bersama, malah berubah menjadi keretakan hubungan yang sulit diperbaiki. Seperti stop kontak yang terus ditinggal menumpuk debu—nanti bisa-bisa malah berisiko terjadi korsleting. Begitulah conflict debt jika dibiarkan.
Terbentuknya silo-silo yang protektif dan fenomena groupthink akibat penghindaran konflik juga menghambat kolaborasi lintas departemen dan menghalangi munculnya inovasi.
Di satu sisi, jika kita memilih untuk membahas perbedaan pendapat secara terbuka dan jujur, konflik itu bisa menjadi pemicu ide-ide kreatif dan solusi baru. Ketika semua orang saling mendengarkan, ada hal yang biasanya terjadi, seperti: setiap orang merasa aman untuk mengemukakan ide atau pendapatnya tanpa merasa takut dihakimi dan solusi terbaik itu diskusi.
Setelah konflik diselesaikan, kepercayaan dan hubungan antar anggota tim malah semakin kuat. Sebaliknya, jika setiap perbedaan pendapat dihindari demi “tidak enak”, masalah pun akan terakumulasi. Alih-alih menyelesaikan perbedaan, kita memilih untuk membiarkannya berlalu.
Studi menunjukkan bahwa orang Indonesia lebih menyukai gaya manajemen konflik kompromi dan integrasi, meskipun penghindaran juga umum. Konflik di tempat kerja Indonesia dapat timbul dari perbedaan budaya, etos kerja, masalah komunikasi, dan masalah pribadi.
Pada titik tertentu, perbedaan yang lama terpendam bisa meledak, menimbulkan konflik besar yang sulit diatasi.
Mengapa Konflik Sebenarnya Bukan Sesuatu yang Buruk?
Sebelumnya, coba renungkan beberapa pertanyaan ini:
Apakah di lingkungan kerjamu atau dalam kehidupan sehari-hari, ada konflik kecil yang selama ini kamu hindari karena merasa nggak enak? Bagaimana perasaanmu setiap kali perbedaan pendapat disimpan dan tidak diungkapkan? Jika ada kesempatan, cara apa yang akan kamu pilih untuk mengubah komunikasi agar lebih terbuka dan jujur?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa membantu kita mengidentifikasi titik-titik di mana conflict debt mulai menumpuk. Kadang, perubahan kecil dalam cara kita menyampaikan pendapat bisa berdampak besar pada keharmonisan hubungan dan produktivitas bersama.
Banyak dari kita sering kali menilai konflik sebagai sesuatu yang harus dihindari. Namun, sebenarnya konflik itu wajar dan merupakan bagian alami dari interaksi manusia. Konflik, bila dikelola dengan baik, dapat mendorong ide-ide segar, membangun kepercayaan, menemukan isu tersembunyi, dan sebagainya.
Perbedaan pendapat bisa membuka ruang untuk ide-ide baru yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Seperti campuran bumbu dalam masakan, perbedaan perspektif justru memperkaya “rasa” akhir dari solusi yang dihasilkan.
Saat masalah diungkap dan diselesaikan secara konstruktif, setiap anggota tim akan merasa dihargai. Ini meningkatkan kepercayaan dan memperkuat hubungan kerja.
Konflik sering kali menjadi gejala dari masalah yang lebih dalam. Dengan membahasnya secara terbuka, kita bisa segera menemukan akar masalah dan mengambil langkah perbaikan sebelum menjadi lebih besar lagi.
Mengubah cara pandang terhadap konflik memang tidak mudah, terutama jika kita sudah terbiasa menghindarinya. Seturut laporan OMT Global, hal pertama adalah menciptakan lingkungan atau budaya kerja yang memberikan rasa aman kepada semua orang. Maksudnya adalah agar setiap anggota tim merasa bebas untuk menyampaikan pendapat tanpa takut akan penilaian negatif.
Ketika semua orang merasa aman, mereka akan lebih mudah membuka diri dan membicarakan masalah yang ada. Karena konflik kerap muncul akibat cara berkomunikasi yang tidak tepat.
Penelitian tersebut menganalisis model yang dikembangkan oleh David Rock, pakar NeuroLeadership, yang menggabungkan ilmu saraf dengan kepemimpinan untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan individu.
Salah satu metode yang bisa diaplikasikan dalam memahami konflik ialah Status, Certainty, Autonomy, Relatedness, Fairness (SCARF). Teknik ini melibatkan lima elemen utama untuk meningkatkan komunikasi, kepemimpinan, dan manajemen tim.
Praktik-praktik ini menciptakan saluran komunikasi formal dan informal yang memungkinkan potensi konflik diidentifikasi dan ditangani sejak dini sebelum meruncing menjadi conflict debt yang lebih besar.
Peran Pemimpin sebagai Mediator
Di dalam tim, pemimpin atau atasan memiliki peran penting sebagai mediator. Pemimpin yang baik tidak hanya fokus pada hasil, tetapi juga bagaimana mencapai hasil tersebut melalui proses yang sehat.
Mereka harus mampu mendengarkan semua pihak dengan saksama, memfasilitasi diskusi agar semua orang merasa didengar, membimbing tim dalam mencari solusi yang saling menguntungkan.
Ketika konflik ditangani dengan baik oleh pemimpin, hal ini bisa menjadi contoh bagi seluruh tim untuk menerapkan diskusi terbuka di kemudian hari.
Mengadakan pertemuan atau workshop mengenai komunikasi dan penyelesaian konflik secara rutin berperan besar dalam menciptakan budaya terbuka. Di sana, setiap karyawan didorong untuk menyampaikan pendapat, baik tentang ide maupun perasaan mereka terkait kondisi kerja.
Dalam sesi semacam ini, setiap orang didorong untuk berbagi pandangan, pengalaman, atau bahkan keluh kesahnya secara santai tanpa tekanan. Dengan begitu, perbedaan kecil bisa segera diatasi dan konflik yang menumpuk (alias conflict debt) bisa dicegah sejak awal.
Dengan begitu, masalah yang muncul tidak akan terpendam hingga menumpuk, melainkan bisa langsung diatasi bersama-sama.
Contoh sederhana: dalam sebuah rapat, ada beberapa anggota tim yang memiliki pandangan berbeda mengenai strategi pemasaran produk baru. Daripada saling menyalahkan, mereka mendiskusikan kelebihan dan kekurangan masing-masing strategi.
Hasilnya? Solusi muncul dengan menggabungkan beberapa ide terbaik, yang membuat strategi akhir menjadi jauh lebih matang dan komprehensif. Ini menunjukkan bahwa perbedaan pendapat yang dikomunikasikan dengan baik tidak saja bukan hambatan, tetapi juga kunci untuk pertumbuhan dan inovasi.
Konflik sebagai Peluang
Singkat cerita, conflict debt terjadi ketika kita memilih untuk menghindari pembicaraan terkait perbedaan pendapat. Meskipun pendekatan menghindar terasa nyaman di awal, dampaknya bisa sangat merugikan dalam jangka panjang, baik bagi hubungan interpersonal maupun kinerja tim secara keseluruhan.
Lalu, apa solusi terbaiknya?
Solusinya adalah dengan mengubah mindset. Alih-alih menganggap konflik sebagai sesuatu yang harus dihindari, kita harus belajar melihatnya sebagai peluang untuk berkembang. Konflik yang diselesaikan dengan cara yang tepat bisa membuka jalan bagi inovasi, memperkuat kepercayaan, dan mengungkapkan masalah yang sebenarnya perlu segera ditangani.
Setiap perbedaan pendapat adalah bagian alami dari interaksi manusia. Bukan masalah jika ada perbedaan, yang terpenting adalah bagaimana cara kita menyelesaikannya.
“Kunci untuk membuat konflik sehat dan berharga adalah selalu melihat ketidaksepakatan sebagai kesempatan untuk belajar dan menciptakan pemahaman bersama,” ujar Matt Krukowski, VP teknik di SevenFifty, dilansir Built In.
Di kantornya, Krukowski menciptakan budaya komunikasi yang terbuka dan aman, karyawannya berkesempatan untuk mengeksplorasi ide-ide baru, memperkuat hubungan interpersonal, sehingga meningkatkan produktivitas.
Mulai dengan langkah kecil, berbicara dengan jujur, dan dengarkan satu sama lain dengan sepenuh hati. Masalah yang segera diselesaikan mencegah hambatan dalam pekerjaan.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi
No Responses