Potensi Eksploitasi Anak dan Child Grooming di Industri K-Pop
Apa yang menimpa mendiang aktris Kim Sae-ron membuka mata publik mengenai dampak dari pembiaran anak-anak di industri hiburan.

tirto.id – Baca artikel pertama dari Seri Pekerja Anak di Dunia K-Pop di tautan berikut: Kim Sae-ron dan Urgensi Meninjau Kembali Peran Idola Cilik K-Pop
Lemahnya upaya memerangi kejahatan seksual terhadap perempuan di Korea Selatan tecermin dari kasus kejahatan siber Nth Room yang terbongkar pada tahun 2020.
Laki-laki bernama Cho Joo-bin dan beberapa orang lain melakukan pemerasan dan penyebaran konten seksual yang melibatkan anak perempuan di bawah umur, lewat aplikasi Telegram.
Kasus yang mendapat perhatian internasional ini, berdasarkan pengamatan dosen Seoul National University of Science and Technology Kim Hyun-kyung, kemungkinan besar tidak akan menjadi skandal kejahatan yang terakhir.
Kim Hyun-kyung menilai hukum Korsel bersikap lebih lunak terhadap kejahatan yang melibatkan cybersex.
Pada tahun 2018, individu yang terlibat dalam kejahatan siber dengan korban anak di bawah umur hanya dihukum selama dua tahun.
Selain itu, rata-rata jumlah penyelesaian kasus kejahatan seksual juga masih sangat rendah.
Diskursus tentang lemahnya hukum untuk melawan kejahatan seksual ini beririsan dengan potensi gangguan kesehatan mental dan fisik hingga invasi ranah pribadi yang mengintai pekerja anak-anak di industri hiburan Korea Selatan.
Dampak lain membiarkan anak-anak bekerja dalam industri dengan regulasi keamanan dan perlindungan minim adalah potensi childgrooming yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya.
Menurut penjabaran Anne-Marie McAlinden dalam artikel di jurnal Social and Legal Studies(2006), child grooming mengacu pada perangai pelaku dalam melakukan persiapan pelecehan seksual terhadap seorang anak.
Pada definisi yang lebih luas, grooming bisa disebut sebagai tahap pengkondisian untuk mendapat akses penuh ke anak secara diam-diam.
Artikel “Current Responses to Sexual Grooming: Implication for Prevention” (2007) mendapati bahwa pengkondisian yang dilakukan oleh pelaku berpotensi mengarah pada kekerasan seksual.
Sementara itu, afeksi yang diberikan selama proses grooming dimanfaatkan oleh pelaku untuk menyangkal tindakan kekerasan yang dilakukan kepada si anak nantinya.
Singkatnya, pelaku memanfaatkan emosional anak-anak yang masih belum terbentuk sempurna demi keuntungan pribadi.
Bagaimana dengan ancaman child grooming yang membayangi industri hiburan K-pop?
Masih segar dalam ingatan ketika girlgroup SISTAR muncul dalam program yang dipandu Kim So-hye pada 2016 silam.
Grup pelantun lagu “So Cool” ini diminta untuk memberikan nasihat kepada idola-idola muda tentang hal yang perlu mereka waspadai.
“Berhati-hatilah dengan laki-laki. Ketika kamu masih rookie [baru debut], senior-senior yang laki-laki akan terus-menerus mengganggumu. Tidak semua senior adalah orang baik. Jadilah pertapa saja, tetap di rumah dan jangan temui laki-laki manapun,” tutur para member SISTAR melansir dari Koreaboo.
Kutipan tersebut disirkulasikan di media sosial beberapa saat setelah merebaknya dugaan child grooming oleh aktor Kim Soo-hyun (37) terhadap mantan aktris cilik Kim Sae-ron (24), yang pada Februari lalu meninggal dunia karena bunuh diri.
Warganet pun sepakat apa yang dikatakan oleh member SISTAR tersebut masih relevan dan sedikit banyak menyingkap realitas kelam di balik gemerlap industri K-Pop.
Di samping itu, wawancara SISTAR juga menggambarkan relasi kuasa yang timpang antara senior laki-laki dengan junior perempuan.
Meski tidak secara eksplisit menyebut child grooming, akan tetapi situasi terbaru membuat waswas penggemar dan pengamat yang tidak memiliki kuasa untuk mengakses apa yang terjadi kepada idola-idolanya di balik layar.
Beberapa tahun belakangan, Korea Selatan menyaksikan kenaikan drastis jumlah Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO) yang menargetkan anak-anak.
Gejala ini semakin nampak usai pandemi COVID-19 ketika banyak kegiatan beralih menjadi daring. Kasus child grooming pun acap kali dikaitkan dengan KGBO.
Sayangnya, menghubungkan child grooming hanya dengan aktivitas daring berpotensi mengecilkan dampak dari perilaku kriminal satu ini.
Yujin Jang dan Youngmeen Suh dalam artikel yang terbit di jurnal Social Sciences(2024) mendapati pengabaian kasus child grooming di dunia luring berdampak pada menurunnya ketajaman proses investigasi dan respons hukum.
Argumen menarik dibuat oleh McAlinden pada artikel yang sama. Dalam penelitian yang ia lakukan, sebagian besar kasus pelecehan anak dilakukan oleh orang-orang terdekat.
Setelah proses penerimaan selesai dilakukan secara daring, barulah kejahatan grooming dijalankan secara luring.
Mengatasi masalah ini membutuhkan keterlibatan aktif dari orang tua dan sekolah. Namun tepat di sinilah masalah yang menggelayut di dunia K-pop.
Proses pelatihan tidak hanya membuat pengawasan orang tua menjadi sulit, melainkan juga sebagian besar calon idola harus meninggalkan pendidikan formal agar bisa fokus debut sebagai selebritas.
Bahkan, di tingkat global, tidak semua negara memiliki payung hukum yang jelas mengenai tindakan kriminal child grooming.
Lemahnya definisi hingga undang-undang yang longgar membuat kasus semacam ini lebih sering berakhir sampai meja pemeriksaan saja.
Apa yang menimpa mendiang Kim Sae-ron membuka mata publik mengenai dampak dari pembiaran anak-anak di industri hiburan.
Seiring itu, dengan semakin terbukanya akses terhadap arus informasi dan edukasi seputar hak-hak asasi, penikmat K-pop menjadi lebih kritis terhadap isu-isu keamanan yang menimpa idola muda mereka.
Semoga saja kesadaran kolektif ini dapat mendorong terwujudnya regulasi yang lebih baik dan ketat untuk memastikan pekerja anak agar senantiasa aman dan sejahtera dalam ekosistem dunia showbiz.
Semoga!
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
No Responses