Pembentukan Satgas PHK Jangan Sekadar Gimik
Program untuk meminimalisasi PHK seharusnya dapat dikerjakan oleh direktorat-direktorat yang sudah ada di kementerian terkait.

tirto.id – Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tengah mematangkan pembentukan satuan tugas (satgas) pemutusan hubungan kerja (PHK) dan satgas percepatan deregulasi perizinan investasi. Kedua satgas tersebut akan segera dibentuk sebagai langkah antisipasi dari ancaman PHK terhadap buruh imbas tarif resiprokal yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat (AS).
Ancaman PHK sebelumnya memang sempat dikhawatirkan oleh kelompok buruh setelah adanya kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat diterbitkan. Berdasarkan kalkulasi dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dalam tiga bulan ke depan, diperkirakan lebih dari 50 ribu buruh terancam PHK dari berbagai sektor industri.
“Jadi ini semua berjalan secara paralel dan diharapkan dalam waktu singkat kita bisa menerbitkan. Tentu, kita cari low hanging fruit dalam bentuk paket-paket,” ujar Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (14/4/2025).
Airlangga menekankan, pembentukan satgas PHK ini sebagai upaya pemerintah untuk menghindari badai PHK yang berimbas dari kebijakan tarif Trump. Sebab, dampak dari kebijakan AS berpotensi menurunkan kinerja ekspor sehingga menurunkan produksi industri secara tidak langsung.
Sedangkan pembentukan Satgas Deregulasi, kata Airlangga, diharapkan dapat membenahi sejumlah regulasi yang tumpang tindih dan dinilai membebani pengusaha untuk melakukan investasi di Indonesia.
Niat baik pemerintah dalam pembentukan satgas PHK ini pun disambut baik oleh Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat. Kendati setuju, Mirah meminta agar keberadaan satgas nantinya melengkapi lembaga atau unit-unit yang sudah ada di Kementerian Ketenagakerjaan. Jadi bukan lagi semacam dualisme atau berbeda lembaga.
Sebab, menurut Mirah, lembaga yang sudah ada di Kementerian Ketenagakerjaan selama ini sudah berjalan, kendati belum maksimal. Sehingga, keberadaan Satgas PHK nantinya bisa mendukung Kementerian Ketenagakerjaan dan lebih cenderung ke arah untuk pencegahannya termasuk membantu investigasi perusahaan yang dianggap sudah goyang.
“Jadi lebih cenderung ke arah pencegahan PHK, bukan pada saat sudah terjadi atau menjadi eksekusi, kemudian masuk tuh satgas PHK, nggak begitu. Jadi ke arah lebih ke pencegahan PHK,” jelas dia.
Cara-cara kerja seperti di atas, menurut Mirah, sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah saat menangani kasus PHK yang terjadi di PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex. Meski belum ada Satgas PHK, fungsi pemerintah dinilai sudah berjalan di kasus Sritex.
Sritex sendiri telah melakukan PHK terhadap lebih dari 10.000 karyawannya akibat pailit. PHK ini dimulai sejak Januari 2025 dan mencapai puncak pada Februari 2025, yang berdampak pada ribuan karyawan di berbagai unit Sritex. Berbagai cara sudah ditempuh pemerintah meski pada akhirnya PHK tetap tidak terbendung.
“Saya melihat fungsi pemerintah itu berjalan ketika ada di kasus Sritex. Kan cukup lama juga tuh pemerintah nahan untuk tidak dilakukan PHK. Tapi tetap saja kan pemerintah nggak bisa juga membantu lebih daripada yang diinginkan misalnya stop PHK. Karena memang ternyata sudah masuk ke ranah hukum itu sudah nggak bisa ngapa-ngapain,” ujar dia.
Maka, belajar dari kasus Sritex, sebelum memitigasi harus ada mapping atau pemetaan dari pemerintah bagi perusahaan-perusahaan mana saja yang berpotensi untuk ke arah melakukan PHK massal. Hal itu yang harus dilakukan oleh Satgas PHK ke depannya. “Jadi lebih ke arah pencegahan,” imbuhnya.
Minimalisasi PHK Bukan dengan Satgas
Pengamat kebijakan publik, Achmad Hanif, menyatakan bahwa kalau keberadaan satgas hanya untuk menelusuri penyebab peningkatan PHK dan memberikan rekomendasi relevan, sesungguhnya tugas ini sudah diampu oleh sejumlah direktorat.
Maka, jika pemerintah ingin meminimalisasi PHK, maka solusi strategisnya sebenarnya bukan dengan membentuk satgas. Pemerintah perlu memulai dengan kerangka dan peta jalan yang jelas untuk memulai industrialisasi di Indonesia.
“Pemerintah kita terlalu lama meromantisasi frasa Revolusi Industri 4.0. hingga lupa untuk memberikan komitmen nyata terhadap industrialisasi perekonomian di negara sendiri. Dengan industrialisasi yang kuat, negara dapat memperluas peluang lapangan pekerjaan, memberikan stabilitas ekonomi, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat,” kata Achmad kepada Tirto, Selasa (15/4/2025).
Oleh karenanya, pembentukan satgas ini jangan hanya jadi gimik semata. Pembentukan satgas harus diikuti dengan tindakan nyata di lapangan. Pemerintah dalam hal ini harus bisa melihat seluruh permasalahan yang dihadapi industri serta mendorong komitmen nyata dalam industrialisasi.
Selain itu, Achmad juga menilai satgas deregulasi perizinan investasi juga tidak terlalu dibutuhkan. Meskipun diakuinya kemudahan perizinan investasi berpotensi besar meningkatkan nilai dan angka investasi ke tanah air. Mengingat investor lebih suka berbisnis dengan negara yang minim birokrasi dan memiliki kepastian hukum.
“Sekali lagi, caranya dapat dilakukan dengan tidak membentuk satgas baru, tetapi mengoptimalkan sumber daya yang telah ada,” jelas dia.
Secara birokrasi, pembentukan satgas juga cenderung tidak efektif karena adanya penambahan lembaga atau badan pemerintah baru di tengah postur pemerintahan kita saat ini yang sudah terlampau jumbo. Dari segi efisiensi, ini juga bertabrakan dengan gagasan Prabowo untuk menghemat pengeluaran.
“Keberadaan satgas baru mengartikan adanya alokasi anggaran tambahan, seperti operasional dan administrasi, yang seharusnya bisa diprioritaskan untuk program-program pokok dan utama,” imbuhnya.
Program ini seharusnya dapat dikerjakan oleh direktorat-direktorat yang sudah ada di kementerian terkait, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Perindustrian, Perdagangan, Investasi dan Hilirasi, ataupun Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Dengan memanfaatkan sumber daya dan lembaga yang sudah ada saat ini, pemerintah bisa menghemat anggaran hingga miliaran rupiah.
Di tengah efisiensi pemerintah, Mirah Sumirah juga berharap keberadaan Satgas PHK tidak kemudian menyedot APBN. Karenanya sedari awal, Mirah bilang lembaga yang sudah ada dimaksimalkan saja tanpa lagi menambah keberadaan atau nama lain seperti Satgas PHK.
“Karena saya khawatir ini malah tadi menjadi tidak efisiensi, jadi pemerintah kan lagi efisiensi anggaran kemudian keberadaan Satgas PHK malah kemudian menyedot APBN atau menyedot anggaran yang sedang kita hemat-hemat gitu,” pungkas dia.
Pemerintah Kehabisan Akal
Lebih jauh, ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyoroti pembentukan satgas seperti ini seringkali merupakan indikator bahwa pejabat tertinggi sedang kehabisan akal dalam menghadapi isu yang tidak mereka kuasai. Karena satgas itu pada dasarnya badan yang kewenangannya bersifat eksekutor.
“Jadi ia menjalankan tugas yang sudah jelas ruang geraknya dari peraturan yang telah dirumuskan hingga ke tingkat teknis terbawah. Ia tidak bisa membuat peraturan sendiri ataupun mengubah peraturan yang sudah ada,” kata Andri kepada Tirto, Selasa (15/4/2025).
Sedangkan isu mengenai PHK maupun deregulasi sebenarnya adalah isu yang permasalahannya berada pada tingkat kebijakan, kondisi struktural dan fundamental ekonomi, yang memerlukan perubahan di tingkat kebijakan. Misalnya, bagaimana satgas deregulasi menangani ketentuan persyaratan impor yang keputusannya di tingkat menteri? Atau misalnya, bagaimana mereka menangani suku bunga yang ada di bawah kewenangan Bank Indonesia?
Ia juga mempertanyakan apakah satgas-satgas ini akan diberikan kewenangan untuk mengubah atau melangkahi regulasi untuk mencapai tujuannya. Jika tidak, bisa diperkirakan bahwa kerja mereka akan terbatas dan tidak akan membawa banyak perubahan.
“Pada intinya permasalahan PHK dan deregulasi berada di tingkat kebijakan dan hanya bisa diperbaiki pada tingkat pemangku kebijakan pula,” jelas Andri.
Sangat menarik juga, lanjut Andri, ketika dikatakan pembentukan Satgas PHK ini dibuat untuk menghadapi dampak tarif AS. Padahal permasalahan tingkat PHK yang semakin tinggi sudah berlangsung lama sebelum tarif AS diumumkan.
Yang perlu dihindari adalah pemerintah menggunakan faktor tarif AS ini sebagai alasan tingginya PHK, walaupun sebenarnya, kondisi internal ekonomi Indonesialah faktor utama yang mendorong tingginya tingkat PHK.
“Bagaimana caranya satgas-satgas ini, baik satgas PHK dan deregulasi, akan menangani faktor yang sudah berjalan lama ini dengan kewenangan yang lebih terbatas dari Kemenaker atau Kementerian Perindustrian, misalnya?” katanya.
“Jadi ini seakan memberikan sinyal bahwa menteri-menteri tersebut sedang kehabisan akal untuk menangani isu struktural tersebut,” katanya menambahkan.
Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, justru berpendapat bahwa pembentukan satgas diperlukan untuk percepatan proses terobosan kebijakan. Sebab, kementerian atau lembaga umumnya sudah overload dengan tugas dan program rutin.
“Pada akhirnya efektivitas satgas sangat tergantung pada kemauan politik presiden Prabowo, tim yang dibentuk, dan support dari kabinet,” kata dia kepada Tirto, Selasa (15/4/2025).
Di sisi lainnya, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri, mengatakan rencana pembentukan Satgas PHK ini harus dipandang positif sebagai langkah untuk mengurangi PHK besar-besaran.
“Itu ide yang bagus. (Tugasnya) nanti kita lihat. Kan, itu Inpres tunggu Pak Presiden [Prabowo] pulang,” ujar Indah di Kantor Kemnaker, Jakarta, Kamis (10/4/2025).
Kendati ada satgas, kementerian atau lembaga dan stakeholder terkait lainnya mesti tetap berupaya memitigasi PHK dengan melakukan upaya penanggulangannya.
“Memitigasi itu, kan, mencegah dan kemudian melakukan upaya-upaya untuk penanggulangannya. Jadi, ya, mungkin terkait perluasan kesempatan kerja. Ditunggu aja,” pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Farida Susanty
No Responses